Selasa, 19 November 2013

TOKOH DUNIA DIBIDANG AGAMA KRISTEN


1.   IJ Kasimo Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
Salah satu tokoh Katolik ternama di Indonesia Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986) dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hari ini Selasa (8/11) di Istana Negara Jakarta.
Ignatius Joseph Kasimo atau dikenal IJ Kasimo adalah mantan Ketua Partai Katolik ini berjasa sebagai salah satu pelaku sejarah pergerakan awal kemerdekaan Indonesia. Kasimo turut berjasa memperjuangkan pluralisme di Indonesia. Sebagai pemimpin yang jujur, berani, dan konsisten, Kasimo juga memberikan teladan nyata dalam pengabdian tanpa pamrih bagi bangsa serta bagaimana berpolitik yang beretika dan bermartabat.
Kasimo pernah menjadi Menteri Muda Kemakmuran (1947-1948), Menteri Persediaan Makanan Rakyat (1948-1949 dan 1949-1950), Menteri Kemakmuran (1949-1950), dan Menteri Perekonomian (1955-1956). Selama menjadi menteri, ia mengusahakan swasembada pangan ketika hubungan dengan dunia luar terputus. Dalam persidangan di Konstituante, Kasimo juga turut memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara.
Lebih prestisiusnya, Kasimo berhasil mengubah citra golongan Katolik sebagai unsur yang melekat dari kolonialisme, menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia. Selain Kasimo, lima tokoh nasional lainnya juga dianugerahi gelar yang sama yaitu Mantan Gubernur Bank Indonesia Syafruddin Prawiranegara, almarhum Idham Chalid serta almarhum Sri Susuhunan Paku Buwono X.
Pemimpin Indonesia saat ini perlu meneladani dan meneruskan karakter dan sifat kepemimpinan para pahlawan nasional seperti IJ Kasimo. Agar cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya untuk masyarakat tidak tergerus oleh kepentingan golongan yang ingin mengambil keuntungan sendiri.
Pendiri Partai Katolik, *Ignatius Joseph Kasimo *dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Upacara penganugerahan gelar pahlawan nasional dilakukan di Istana Negara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa 8 November 2011 ini sebagai rangkaian dari perayaan Hari Pahlawan 2011.
IJ Kasimo mungkin bagi kebanyakan masyarakat Indonesia merupakan nama yang masih asing dan tidak terlalu dikenal, pun juga bagi sebagian orang Katolik. *Ignatius Joseph Kasimo*, anak seorang prajurit keraton Yogyakarta yang menjadi Katolik di bawah asuhan Pater van Lith, SJ telah menjadi teladan bagaimana berpolitik semestinya dihidupi dan mengabdi kepada kepentingan rakyat.
Pernah menjadi murid Pater van Lith, SJ di Sekolah Guru Muntilan, IJ. Kasimo muda banyak mengabdikan diri dan karyanya di bidang pendidikan. Selain pendidikan, pernah juga IJ. Kasimo muda bekerja sebagai mandor perkebunan karet . Namun karena keberanian IJ. Kasimo membela buruh-buruh yang ditindas, IJ. Kasimo akhirnya dipindah kembali menjadi guru pertanian.
Kedalamannya akan penghayatan iman katolik dalam hidup nyata di masyarakat dan bangsanya sangat dipengaruhi oleh pemahaman IJ. Kasimo tentang Ajaran Sosial Gereja. Inspirasi dari ASG yang menekankan kemerdekaan, persamaan hak dan persatuan bangsa mendorong IJ. Kasimo untuk mulai aktif di berbagai organisasi pergerakan dan politik.
Peranan IJ. Kasimo dalam perjuangan kebangsaan dimulai dari kegigihannya membela dan memperjuangkan hak-hak kemerdekaan di dalam *Volksraad* (Dewan Rakyat) dari tahun 1931-1943. Pidato terkenalnya di*Volksraad* adalah ketika dia menyerukan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia dalam sidang * Volksraad* 19 Juli 1932.
*“Tuan Ketua! Dengan ini saya menyatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia yang berada dibawah kekuasaan Negeri Belanda, menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban untuk membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa, dan karenanya berhak memperjuangkan pengaturan negara sendiri sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan abngsa sesuai dengan kebutuhan nasional, yaitu sesempurna mungkin Ini berarti bahwaNegeri Belanda sebagai negara berbudaya terpanggil untuk ikut mengembangkan seluruh rakyat, dan khususnya sebagai negara penjajah, mempunyai kewajiban untuk membimbing dan merampungkan pendidikan rakyat, sehingga dengan demikian dapat dicapai kesejahteraan rakyat Indonesia, untuk kemudian dapat diberikan hak untuk mengatur dan akhirnya memerintah sendiri.”*
Bagi kalangan Katolik sendiri IJ. Kasimo dipandang sebagai “bapak politik” bagi umat Katolik Indonesia. Lewat *Partai Katolik* yang didirikannya IJ. Kasimo mau menggarisbawahi bahwa iman katolik adalah iman yang harusnya menggema dalam hidup bermasyarakat sehari-hari.
*“…kami orang-orang Katolik Djawa BUKANLAH pengikut yang baik dari perintis besar Misi Jawa ini BILA kami tidak sependapat dengan dia serta pengarang-pengarang Katolik terkenal lainnya seperti Cathrein dan Ferrari, mengenai prinsip kebangsaan, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk membntuk negara merdeka..”*

IJ. Kasimo melihat politik sebagai sebuah sarana perjuangan yang harus dilaksanakan dengan menjunjung kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat. Dan ini semua dia yakini sebagai sebuah penghayatan akan iman Katoliknya. Sebagai seorang Katolik, IJ. Kasimo berani berdiri di persimpangan, mewartakan yang benar, dan atas keyakinan dan imannya dia berani memperjuangkan kebenaran itu.
Diangkatnya IJ. Kasimo menjadi Pahlawan Nasional seharusnyalah membuat kita umat Katolik diajak untuk kembali bercermin pada sosok IJ. Kasimo. Dewasa ini, baik para uskup, umat dan kita semua, tidak banyak yang berdiri di “persimpangan” untuk mewartakan kebenaran. Mungkin tidak ada lagi para uskup atau awam yang berani bersuara lantang secara individu atas ketidakadilan baik yang menimpa umat Katolik atau masyarakat pada umumnya.
Bagaimana politikus Katolik? Kita patut prihatin misalnya beberapa skandal di DPR baik hukum dan keuangan malah melibatkan politisi Katolik, yang tidak berani bersuara melantangkan kebenaran.
IJ. Kasimo adalah potret bagaimana iman bersuara dan mungkin merupakan sebuah “sketsa” Gereja yang bersuara. Dia adalah potret bagaimana iman itu menggema dalam hidup  dan memberanikan diri berpijak pada “yang benar”.
Semoga kita dan Gereja Katolik Indonesia tidak semakin takut kepada “yang bayar” atau malu-malu berbicara lantang tentang “yang benar”. Bila kita takut, semoga bercermin pada Ignatius Joseph Kasimo dan Yesus sendiri membuat kita berani bangkit.











2.   Martin Luther
Kekaisaran Romawi Suci, 18 Februari 1546 pada umur 62 tahun) adalah seorang pastur Jerman dan ahli teologi Kristen dan pendiri Gereja Lutheran, gereja Protestan, pecahan dari Katolik Roma. Dia merupakan tokoh terkemuka Martin Luther (lahir di Eisleben, Kekaisaran Romawi Suci, 10 November 1483 – meninggal di Eisleben, bagi Reformasi. Ajaran-ajarannya tidak hanya mengilhami gerakan Reformasi, namun juga mempengaruhi doktrin, dan budaya Lutheran serta tradisi Protestan. Seruan Luther kepada Gereja agar kembali kepada ajaran-ajaran Alkitab telah melahirkan tradisi baru dalam agama Kristen. Gerakan pembaruannya mengakibatkan perubahan radikal juga di lingkungan Gereja Katolik Roma dalam bentuk Reformasi Katolik. Sumbangan-sumbangan Luther terhadap peradaban Barat jauh melampaui kehidupan Gereja Kristen. Terjemahan Alkitabnya telah ikut mengembangkan versi standar bahasa Jerman dan menambahkan sejumlah prinsip dalam seni penerjemahan. Nyanyian rohani yang diciptakannya mengilhami perkembangan nyanyian jemaat dalam Gereja Kristen. Pernikahannya pada 13 Juni 1525 dengan Katharina von Bora menimbulkan gerakan pernikahan pendeta di kalangan banyak tradisi Kristen.
Selain tugas-tugasnya sebagai seorang profesor, Martin Luther melayani sebagai pengkhotbah dan penerima pengakuan dosa di Gereja Kastil, "fondasi" dari Frederick yang Bijak, Pemilih dari Saxony. Gereja ini dinamai "Semua orang Suci" karena di sinilah disimpan koleksi relikui sucinya. Gereja ini berfungsi sebagai biara Augustinian dan universitas. Dalam melakukan tugas-tugas inilah pastor muda itu diperhadapkan dengan berbagai akibat yang timbul ketika orang biasa harus mendapatkan indulgensia.
Indulgensia adalah penghapusan (sepenuhnya atau sebagian) dari penghukuman sementara yang masih ada bagi dosa-dosa setelah kesalahan seseorang dihapuskan melalui absolusi (pernyataan oleh imam bahwa dosa seseorang telah dihapuskan). Saat itu terjadi penyalahgunaan indulgensia oleh oknum-oknum Gereja, yaitu sebuah indulgensia dapat dibeli seorang umat untuk dirinya sendiri ataupun untuk salah seorang sanak keluarga yang sedang berada di api penyucian. Johann Tetzel, seorang imam Dominikan, ditugasi berkeliling di seluruh wilayah keuskupan Uskup Agung Albert dari Mainz untuk mempromosikan dan menjual indulgensia untuk merenovasi Basilika St. Petrus di Roma. Tetzel sangat berhasil dalam hal ini. Ia menganjurkan: "Begitu mata uang bergemerincing di dalam kotak, jiwa yang sedang menanti di api penyucian pun akan terlepas".
Luther menganggap penjualan indulgensia ini sebagai penyelewengan yang dapat menyesatkan umat sehingga mereka hanya mengandalkan indulgensia itu saja dan mengabaikan pengakuan dosa dan pertobatan sejati. Luther menyampaikan tiga khotbah menentang indulgensia ini pada 1516 dan 1517. Pada 31 Oktober 1517, menurut laporan tradisional, 95 dalil Luther dipakukan pada pintu Gereja Kastil sebagai undangan terbuka untuk memperdebatkannya. Luther sebetulnya tidak menempatkan ke-95 dalil itu di pintu Gereja Wittenberg sebagaimana dikatakan legenda, tetapi menerbitkan salinannya.
Dalil-dalilnya ini mengutuk keserakahan dan keduniawian di dalam Gereja dan dianggap sebagai penyimpangan. Luther mengeluarkan bantahan teologis tentang apa yang dapat dihasilkan oleh indulgensia itu. Luther tidak menantang wewenang paus untuk mengeluarkan indulgensia dalam dalil-dalilnya itu. ke-95 dalil Luther segera diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, disalin dan dicetak secara luas. Dalam waktu dua minggu, dalil-dalilnya telah menyebar ke seluruh Jerman, dan dalam waktu dua bulan ke seluruh Eropa. Ini adalah salah satu peristiwa pertama dalam sejarah yang dipengaruhi secara mendalam oleh mesin cetak, yang membuat distribusi dokumen lebih mudah dan meluas.
3.   John Wesley, pendiri Gereja Metodis

John Wesley (lahir di Epworth, 28 Juni 1703 – meninggal 2 Maret 1791 pada umur 87 tahun) adalah seorang teolog Inggris. John merupakan anak seorang pendeta dari gereja Anglikan. Ayahnya bernama Samuel Wesley dan ibunya adalah Susanna Annesley. John juga memiliki seorang adik yang dilahirkan pada tahun 1707 (Charles Wesley). Ia dikenal sebagai pendiri Gereja Metodis.
John Wesley sangat menekankan doktrin pembenaran dan pengudusan. Dasar dari konsep pembenaran adalah konsep manusia yang berdosa dan benar-benar terpisah dari Allah sehingga tidak mungkin menyelamatkan dirinya sendiri, serta Allah yang begitu mengasihi manusia dan berkenan menyelamatkan sesuai dengan kehendak-Nya. Karena itu, keselamatan adalah benar-benar anugerah dari Allah belaka dan manusia menerima pembenaran dari Allah. Wesley memiliki doktrin tentang “jaminan” yang membuatnya berbeda dengan para reformator dan Gereja Katolik Roma, yaitu konsep kepastian yang sungguh tentang keselamatan sehingga tidak perlu ada keraguan dan pertanyaan tentang keselamatan, ataupun pekerjaan manusia yang dilakukan untuk mendapatkan ataupun memastikan keselamatan itu.
Akan tetapi, pembenaran dan jaminan hanyalah awal. Manusia berdosa yang telah mendapatkan pembenaran Allah harus melanjutkan proses “pengudusan” dalam seluruh kehidupannya hingga akhir masa hidupnya. Proses pengudusan ini sangat ditekankan Wesley dalam doktrinnya mengenai “kesempurnaan Kristen” (en.Christian Perfection). “Kesempurnaan Kristen” tidaklah berarti bahwa manusia dapat menjadi sempurna seperti Allah atau benar-benar lepas dari kesalahan moral. Wesley tetap menyadari keterbatasan manusia dan bahwa hanya Allah yang memiliki kesempurnaan absolut dan percaya bahwa kesempurnaan manusia baru datang dalam kehidupan mendatang di dalam Kristus, namun ia juga percaya bahwa pemulihan Kristus dimulai sejak manusia menjalani kehidupannya yang terbatas dan kesempurnaan juga dimulai pada kehidupan ini.
Sebenarnya apa yang Wesley maksudkan dengan doktrin ini adalah kesempurnaan dalam kasih, yaitu bagaimana menjadi seseorang yang sungguh-sungguh dipenuhi kasih yang tidak lagi diperbudak oleh kepentingan diri, melainkan senantiasa mengasihi Allah dan sesama.  Untuk dapat menjalani proses kesempurnaan tersebut sepanjang kehidupan ini, maka Wesley menerapkan disiplin moral yang keras terhadap anggotanya.

Dengan demikian ada tiga poin yang menjadi dasar pemikiran Wesley dalam doktrin “kesempurnaan seorang Kristen”, yaitu (1) pembenaran, dalam pemikiran Reformasi, tidak cukup bila tidak membawa orang pada transformasi kehidupan; (2) bahwa anugerah yang menusia terima melalui Kristus mampu untuk melakukan transformasi hidup manusia; (3) bahwa kasih adalah esensi dari kehidupan baru dalam Kristus. 
4.   Ulrich Zwingli

Huldrych (atau Ulrich) Zwingli (lahir di Wildhaus, St. Gall, Swiss, 1 Januari 1484 – meninggal 11 Oktober 1531 pada umur 47 tahun) adalah pemimpin Reformasi Swiss, dan pendiri Gereja Reformasi Swiss. Zwingli adalah seorang doctor biblicus (pakar Alkitab) yang independen dari Luther. Ia tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang sama setelah meneliti Kitab Suci dari sudut pandangan seorang sarjana humanis.
Zwingli dilahirkan di Wildhaus, St. Gall, Swiss dari sebuah keluarga kelas menengah terkemuka. Ia adalah anak ke-3 dari delapan anak lelaki. Ayahnya, Ulrich, adalah hakim kepala di kotanya, dan pamannya, Bartolomeus seorang pendeta.
Reformasi Zwingli didukung oleh pemerintah dan penduduk Zürich, dan menyebabkan perubahan-perubahan penting dalam kehidupan masyarakat, dan urusan-urusan negara di Zürich. Gerakan ini, khususnya, dikenal karena tanpa mengenal kasihan menganiaya kaum Anabaptis dan para pengikut Kristus lainnya yang mengambil sikap tidak melawan. Reformasi menyebar dari Zürich ke lima kanton Swiss lainnya, sementara yang lima lainnya berpegang kuat pada pandangan iman Gereja Katolik.
Zwingli terbunuh di Kappel am Albis, dalam sebuah pertempuran melawan kanton-kanton Katolik.
Sementara orang dapat menemukan banyak sekali informasi mengenai teologi Martin Luther, Yohanes Calvin, dan lainnya, relatif sedikit sekali yang dapat ditemukan tentang Ulrich Zwingli. Karena masa hidup Zwingli berbarengan dengan masa hidup Luther, dan karena Zwingli menolak tahbisan imam Katolik Roma hanya beberapa tahun setelah Luther, tampaknya Zwingli telah dibayang-bayangi oleh sumbangan Luther dan Calvin terhadap Reformasi.
Alasan lain yang membuat karier Zwingli kurang kelihatan mungkin adalah perbedaan-perbedaan teologinya sendiri dibandingkan dengan Luther. Sebagian orang percaya bahwa karena perbedaan-perbedaan ini para penulis sejarah dan aktivis agama, yang lebih bersimpati dengan pandangan-pandangan doktriner Luther, mungkin ikut menekan pandangan-pandangan doktriner Zwinglin. Mereka berpendapat, "pihak yang menang dalam sejarah itulah yang menulis sejarah", karena itu "sisi lain dari ceritanya" terlupakan atau disingkirkan.
Menurut E. Brooks Holifield, "Ketika Luther menyebut sakramen sebagai meterai perjanjian, yang ia maksudkan ialah bahwa baptisan secara kelihatan mengesahkan dan menjamin janji-janji Allah, sebagaimana sebuah meterai kerajaan mengesahkan dokumen pemerintah yang tertulis di dalamnya. Hanya secara sekunder baptisan itu dipahami sebagai janji ketaatan oleh manusia. Namun bagi Zwingli, sakramen terutama adalah 'suatu tanda perjanjian yang menunjukkan bahwa semua yang menerimanya rela memperbaiki hidupnya untuk mengikut Kristus." (Holifield, "The Covenant Sealed: The Development of Puritan Sacramental Theology in Old and New Testaments" (1570-1720, New Haven, Conn.: Yale University press, 1974, 6).
Zwingli juga percaya bahwa sakramen Kristen itu serupa dengan janji atau sumpah seorang militer untuk membuktikan kerelaan dirinya untuk mendengarkan dan menaati firman Allah.
5.   Yohanes Calvin
John Calvin atau Yohanes Kalvin (lahir 10 Juli 1509 – meninggal 27 Mei 1564 pada umur 54 tahun) adalah teolog Kristen Prancis terkemuka pada masa Reformasi Protestan. Namanya kini dikenal dalam kaitan dengan sistem teologi Kristen yang disebut Calvinisme (Kalvinisme). Ia dilahirkan dengan nama Jean Chauvin (atau Cauvin) di Noyon, Picardie, Prancis, dari Gérard Cauvin dan Jeanne Lefranc. Bahasa Prancis adalah bahasa ibunya. Calvin berasal dari versi Latin namanya, Calvinus.
Tulisan-tulisan Calvin
Calvin menerbitkan beberapa revisi dari Institutio, sebuah karya yang menjadi dasar dalam teologi Kristen yang masih dibaca hingga sekarang. Tulisan ini dibuatnya dalam bahasa Latin pada 1536 (pada usia 26 tahun) dan kemudian dalam bahasa ibunya, bahasa Prancis, pada 1541, dan edisi finalnya masing-masing muncul pada tahun 1559 dan 1560.
Ia juga banyak menulis tafsiran tentang kitab-kitab di dalam Alkitab. Untuk Perjanjian Lama, ia menerbitkan tafsiran tentang semua kitab kecuali kitab-kitab sejarah setelah Kitab Yosua (meskipun ia menerbitkan khotbah-khotbahnya berdasarkan Kitab 1 Samuel dan sastra Hikmat kecuali Mazmur. Untuk Perjanjian Baru, ia melewatkan Surat 2 Yohanes dan Surat 3 Yohanes serta Kitab Wahyu. (Sebagian orang mengatakan bahwa Calvin mempertanyakan kanonisitas Kitab Wahyu, tetapi ia mengutipnya dalam tulisan-tulisannya yang lain dan mengakui otoritasnya, sehingga teori itu diragukan.) Tafsiran-tafsiran ini pun ternyata tetap berharga bagi para peneliti Alkitab, dan setelah lebih dari 400 tahun masih terus diterbitkan.
Dalam jilid ke-8 dari Sejarah Gereja Kristen karya Philip Schaff, sang sejarahwan mengutip teolog Belanda Jacobus Arminius (Arminianisme, sebuah gerakan anti-Calvinis, dinamai sesuai dengan nama Arminius), sehubungan dengan nilai tulisan-tulisan Calvin:
Selain mempelajari Alkitab yang sangat saya anjurkan, saya mengimbau murid-murid saya untuk memanfaatkan Tafsiran-tafsiran Calvin, yang saya puji jauh melebihi Helmich (seorang tokoh gereja Belanda, 1551-1608); karena saya bahwa ia sungguh tidak tertandingi dalam penafsiran Kitab Suci, dan bahwa tafsiran-tafsirannya harus jauh lebih dihargai daripada semua yang telah diwariskan kepada kita oleh khazanah para Bapak Gereja; sehingga saya mengakui bahwa ia memiliki jauh dari kebanyakan orang lain, atau lebih tepatnya, jauh melampaui semua orang, apa yang dapat disebut semangat nubuat yang menonjol. Institutio-nya harus dipelajari setelah Katekismus Heidelberg, karena mengandung penjelasan yang lebih lengkap, namun, seperti tulisan-tulisan semua orang, juga mengandung prasangka.
Sebagaimana praktik Calvin di Jenewa, terbitan-terbitannya menyebarkan gagasan-gagasannya tentang bagaimana Gereja Reformasi yang benar itu ke banyak bagian Eropa. Calvinisme menjadi sistem teologi dari mayoritas Gereja Kristen di Skotlandia, Belanda, dan bagian-bagian tertentu dari Jerman dan berpengaruh di Prancis, Hongaria (khususnya di Transilvania dan Polandia.
Kebanyakan kolonis di daerah Atlantik Tengah dan New England di Amerika adalah Calvinis, termasuk kaum Puritan dan para kolonis di New Amsterdam (New York). Para kolonis Calvinis Belanda juga merupakan kolonis Eropa pertama yang berhasil di Afrika Selatan pada awal abad ke-17, dan menjadi apa yang dikenal sebagai orang Boer atau Afrikaner.
Sebagian besar wilayah Sierra Leone dihuni oleh para kolonis Calvinis dari Nova Scotia, yang pada umumnya adalah kaum loyalis kulit hitam, yaitu orang-orang kulit hitam yang berperang untuk Britania Raya pada masa Perang Kemerdekaan Amerika.
Sebagian dari gereja-gereja Calvinis yang paling besar dimulai oleh para misionaris abad ke-19 dan abad ke-20, khususnya di Indonesia, Korea dan Nigeria.
6.   John Knox
John Knox adalah salah seorang tokoh yang mempengaruhi gerakan reformasi di Skotlandia. Ia merupakan salah satu murid Calvin di Jenewa, sehingga pengaruh teologi Calvinis sangat kental dalam dirinya. Menurut Knox, kekristenan dan kemerdekaan nasional harus dapat ditemukan bersama, karena keduanya merupakan suatu pergumulan yang dapat diselesaikan bersama.
John Knox lahir sekitar tahun 1513 di Haddington, tidak jauh dari Edinburgh. Ia belajar di Universitas St. Andrews lalu ditahbiskan menjadi imam Katolik tahun 1536 dan menjadi seorang notaris kepausan tahun 1540. Perpindahannya menjadi seorang protestan, menjadi sebuah misteri yang terselubung.
Setelah terlibat dalam Reformasi Skotlandia sebagai pengkhotbah dan pengajar, kematian Edward VI tahun 1553 dan penobatan Mary I (seorang Katolik yang saleh), mendorong Knox meninggalkan Britania menuju ke Eropa. Ia pernah tinggal di Inggris pada bagian akhir pemerintahan Edward VI dan ikut dalam tahap-tahap terakhir penyelesaian Book of Common Prayer dari Cranmer pada 1552, serta pernah menjadi gembala jemaat Inggris dalam pelarian di Frankfurt (tempat ia terlibat pertikaian). Kemudian Knox memulai perjalanannya ke Prancis menjadi budak kapal selama sembilan belas bulan, baru kemudian ke Genewa. Di sana ia belajar di bawah bimbingan Calvin.
Pada tahun 1559, Knox kembali ke Skotlandia dan membantu memperbaharui gereja di sana. Ia merupakan salah satu dari enam tokoh reformasi terpenting di Skotlandia. Knox meninggal tahun 1572.
Karya-karya
Selama hidupnya Knox berhasil menyusun beberapa karya, dengan bantuan orang lain maupun hasil pemikirannya sendiri, di antaranya: Book of Discipline (Buku Disiplin, 1561), Book of Common Order (Buku Aturan Umum, 1564), Scots Confession (Pengakuan Iman Skotlandia yang diterima Parlemen Skotlandia dan menjadi Pengakuan Iman Gereja Reformasi Skotlandia sampai tahun 1647, hingga Pengakuan Iman Westminster menggantikannya), serta menulis History of the Reformation of (Sejarah Reformasi Agama dalam Kerajaan Skotlandia, yang baru terbit secara Religion within the Realm of Scotland lengkap tahun 1644). 


7.   Albertus Soegijapranata

Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (Ejaan Yang Disempurnakan: Albertus Sugiyapranata; lahir 25 November 1896 – meninggal 22 Juli 1963 pada umur 66 tahun), lebih dikenal dengan nama lahir Soegija, merupakan Vikaris Apostolik Semarang, kemudian menjadi uskup agung. Ia merupakan uskup pribumi Indonesia pertama dan dikenal karena pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".
Soegija dilahirkan di Surakarta, Hindia-Belanda, dari keluarga seorang abdi dalem dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota Yogyakarta saat Soegija masih kecil, dan, karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. Frans van Lith untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah Yesuit di Muntilan. Di sana Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di seminari di Muntilan sebelum berangkat ke Belanda pada tahun 1919. Ia menjalani masa pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua tahun di Grave; ia juga menyelesaikan juniorate di sana pada tahun 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch, ia dikirim kembali ke Muntilan sebagai guru; ia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 ia kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht, dan ditahbiskan pada tanggal 15 Agustus 1931. Setelah itu Soegija menambahkan kata "pranata" di belakang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia-Belanda untuk menjadi pastor.
Soegijapranata memulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St. Yoseph di Bintaran dibuka pada tahun 1934. Dalam periode ini ia berusaha untuk meningkatkan rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga Katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata dikonsekrasikan sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan. Meskipun jumlah pemeluk Katolik meningkat setelah ia dikonsekrasikan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. Kekaisaran Jepang menduduki Hindia-Belanda pada awal tahun 1942, dan selama periode pendudukan itu banyak gereja diambil alih dan banyak pastor ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa lolos dari kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan mendampingi orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.
Setelah Presiden Soekarno memproklamasi kemerdekaan Indonesia, Semarang dipenuhi dengan kekacauan. Soegijapranata membantu menyelesaikan Pertempuran Lima Hari dan menuntut agar pemerintah pusat mengirim seseorang dari pemerintah untuk menghadapi kerusuhan di Semarang. Biarpun permintaan ini ditanggapi, Semarang menjadi semakin rusuh dan pada tahun 1947 Soegijapranata pindah ke Yogyakarta. Selama revolusi nasional Soegijapranata berusaha untuk meningkatkan pengakuan Indonesia di dunia luas dan meyakinkan orang Katolik untuk berjuang demi negera mereka. Tidak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Soegijapranata kembali ke Semarang. Dalam periode pasca-revolusi ia banyak menulis mengenai komunisme dan berusaha untuk mengembangkan pengaruh Katolik, serta menjadi perantara beberapa faksi politik. Pada tanggal 3 Januari 1961 ia diangkat sebagai uskup agung, saat Tahta Suci mendirikan enam provinsi gerejawi di wilayah Indonesia. Soegijapranata bergabung dengan sesi pertama dari Konsili Vatikan II. Ia meninggal pada tahun 1963 di Steyl, Belanda dan jenazahnya diterbangkan kembali ke Indonesia. Ia dijadikan seorang Pahlawan Nasional dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.
Soegijapranata sampai sekarang dihormati orang Indonesia, baik pemeluk Katolik maupun bukan. Berbagai biografi tentang ia sudah ditulis oleh berbagai penulis, dan pada tahun 2012 sebuah film biopik fiksi garapan Garin Nugroho, yang diberi judul Soegija, diluncurkan. Universitas Katolik Soegijapranata, sebuah universitas di Semarang, dinamakan untuk Soegijapranata.


8.   Romo Kurris
Romo Kurris, SJ dilahirkan di Maastricht, Belanda pada 11 Agustus 1929. Masuk dalam Serikat Yesus, pada tahun 1950 dikirim ke Indonesia, menjalani seluruh studi imamatnya di Indonesia dan ditahbiskan sebagai Imam pada 31 Juli 1962 di Yogyakarta.

Kemudian bertugas di:
  • Gereja St Fransiscus Xaverius, Tanjung Priok (1962-1970)
  • Gereja St Maria Ratu, Kebayoran, Blok Q Jakarta (1971-1977)
  • Gereja St Yohanes, Kebayoran, Blok B Jakarta (1977-1985)
  • Gereja Katedral Jakarta (1985-1993)
  • Gereja St Servatius Kampung Sawah, Jakarta (1993-2001)
  • Paroki Tarutung, Tapanuli Utara (2002-2006)
  • Gereja St Antonius Purbayan (Oktober 2006-2009)

Romo Kurris, SJ sangat gemar menulis dan sejarah adalah bidang yang diminati. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di pelbagai media massa.
  • Cerber (Cerita Berasambung), dimuat dalam majalah "Semangat"
  • Rubrik "Pastor Kampung", dimuat dalam "HIDUP KATOLIK"
  • "Terlepas Sebelum Terusap", sebuah novel dimuat dalam harian "Sinar Harapan"
  • Buku "Seputar Katedral Jakarta", diterbitkan oleh Penerbit Obor, Jakarta (1992)
  • Buku "Terpencil Seputar Katedral Jakarta", diterbitkan oleh Penerbit Obor, Jakarta (1996)
  • Buku "Pelangi di atas Bukit Barisan"
  • Buku "Menuju Santiago", Penuntun bagi peziarah yang mau bergabung dengan ratusan ribu peziarah ke makam Santo Yakobus di Spanyol Utara.
  • Buku "Sang Jago Tuhan", tentang Pater Le Coeq d'Armandville, SJ yang pada pertengahan kedua abad 19 berkarya di pelbagai tempat di Indonesia Timur, dan akhirnya menemui ajalnya di pantai Timika. Pater Le Coeq adalah Misionaris pertama di Papua
  • Buku Purbayan di Tengah Rakyat dan Ningrat (2009)

Romo Kurris, SJ meninggal hari Kamis, 24 November 2011 pagi hari di Rensidensi Komunitas Yesuit di Nabire, Papua.


9.   Thomas dari Aquino.

Thomas adalah seorang tokoh skolastik terbesar pada masanya. Thomisme adalah ciri khas ajaran-ajaran filsafatnya. Ia mengisi sistem metafisika yang begitu luas melalui sebuah istilah teknis. Dalam menjelaskan eksistensi Allah, ia mengajukan lima bukti :
  • Kenyataan akan perubahan yang diubah oleh sesuatu yang lain.
  • Kenyataan bahwa sebab dan akibat ada di dunia, dan Allah adalah penyebab pertama.
  • Ide ada dan tiada di dalam dunia. Seandainya Allah tidak ada, tidak ada sesuatupun yang dapat ada.
  • Tingkatan kebaikan dan kesempurnaan di dunia disebabkan oleh Allah.
  • Tatanan dan tujuan di dalam alam diarahkan kepada Allah.
Sampai pada titik ini, kita melihat suatu kejayaan yang besar bagi gereja pada masa abad pertengahan. Gereja menguasai ilmu pengetahuan melalui pandangan para teolog dan filsufnya. Namun, kejayaan gereja pada abad pertengahan tidak berlangsung lama.
Pada akhir abad pertengahan, kepausan mengalami krisis sejalan dengan meningkatnya kekuasaan para pemimpin duniawi. Situasi politik dimana banyak pemimpin dunia yang tidak lagi mau diatur oleh kepausan; dekadensi moral yang dialami oleh masyarakat sebagai akibat dan melemahnya spiritual; dan stratifikasi sosial serta uang yang menjadi tujuan utama gereja saat itu merupakan penyebab krisis yang dihadapi gereja pada abad pertengahan.

0 komentar: